Banyak yang keberatan dengan penerapan standar moral dalam aktivitas
bisnis. Bagian ini membahas keberatan-keberatan tersebut dan melihat apa
yang dapat dikatakan berkenaan dengan kesetujuan untuk menerapkan etika
ke dalam bisnis.
Tiga keberatan atas penerapan etika ke dalam bisnis :
Orang
yang terlibat dalam bisnis, kata mereka hendaknya berfokus pada
pencarian keuntungan finansial bisnis mereka dan tidak membuang-buang
energi mereka atau sumber daya perusahaan untuk melakukan ”pekerjaan
baik”. Tiga argumen diajukan untuk mendukung perusahaan ini :
Pertama,
beberapa berpendapat bahwa di pasar bebas kompetitif sempurna,
pencarian keuntungan dengan sendirinya menekankan bahwa anggota
masyarakat berfungsi dengan cara-cara yang paling menguntungkan secara
sosial. Agar beruntung, masing-masing perusahaan harus memproduksi hanya
apa yang diinginkan oleh anggota masyarakat dan harus melakukannya
dengan cara yang paling efisien yang tersedia. Anggota masyarakat akan
sangat beruntung jika manajer tidak memaksakan nilai-nilai pada bisnis,
namun mengabdikan dirinya pada pencarian keuntungan yang berfokus.
Argumen
tersebut menyembunyikan sejumlah asumsi yaitu : Pertama, sebagian besar
industri tidak ”kompetitif secara sempurna”, dan sejauh sejauh
perusahaan tidak harus berkompetisi, mereka dapat memaksimumkan
keuntungan sekalipun produksi tidak efisien. Kedua, argumen itu
mengasumsikan bahwa langkah manapun yang diambil untuk meningkatkan
keuntungan, perlu menguntungkan secara sosial, sekalipun dalam
kenyataannya ada beberapa cara untuk meningkatkan keuntungan yang
sebenarnya merugikan perusahaan : membiarkan polusi, iklan meniru,
menyembunyikan cacat produksi, penyuapan. Menghindari pajak, dsb.
Ketiga, argumen itu mengasumsikan bahwa dengan memproduksi apapun yang
diinginkan publik pembeli, perusahaan memproduksi apa yang diinginkan
oleh seluruh anggota masyarakat, ketika kenyataan keinginan sebagian
besar anggota masyarakat (yang miskin dan dan tidak diuntungkan) tidak
perlu dipenuhi karena mereka tidak dapat berpartisipasi dalam pasar.
Keempat, argumen itu secara esensial membuat penilaian normatif.
Kedua,
Kadang diajukan untuk menunjukan bahwa manajer bisnis hendaknya
berfokus mengejar keuntungan perusahaan mereka dan mengabaikan
pertimbangan etis, yang oleh Ale C. Michales disebut ”argumen dari agen
yang loyal”. Argumen tersebut secara sederhana adalah sbb :
Sebagai
agen yang loyal dari majikannya manajer mempunyai kewajiban untuk
melayani majikannya ketika majikan ingin dilayani (jika majikan memiliki
keakhlian agen).
Majikan ingin dilayani dengan cara apapun yang akan
memajukan kepentingannya sendiri. Dengan demikian sebagai agen yang
loyal dari majikannya, manajer mempunyai kewajiban untuk melayani
majikannya dengan cara apapun yang akan memajukan kepentingannya.
Argumen
agen yang loyal adalah keliru, karena ”dalam menentukan apakah perintah
klien kepada agen masuk akal atau tidak... etika bisnis atau
profesional harus mempertimbangkan” dan ”dalam peristiwa apapun
dinyatakan bahwa agen mempunyai kewajiban untuk tidak melaksanakan
tindakan yang ilegal atau tidak etis”. Dengan demikian, kewajiban
manajer untuk mengabdi kepada majikannya, dibatasi oleh batasan-batasan
moralitas.
Ketiga, untuk menjadi etis cukuplah bagi orang-orang bisnis sekedar mentaati hukum :
Etika bisnis pada dasarnya adalah mentaati hukum.
Terkadang
kita salah memandang hukum dan etika terlihat identik. Benar bahwa
hokum tertentu menuntut perilaku yang sama yang juga dituntut standar
moral kita. Namun demikian, hukum dan moral tidak selalu serupa.
Beberapa hukum tidak punya kaitan dengan moralitas, bahkan hukum
melanggar standar moral sehingga bertentangan dengan moralitas, seperti
hukum perbudakan yang memperbolehkan kita memperlakukan budak sebagai
properti. Jelas bahwa etika tidak begitu saja mengikuti hukum.
Namun
tidak berarti etika tidak mempunyai kaitan dengan hukum. Standar Moral
kita kadang dimasukan ke dalam hukum ketika kebanyakan dari kita merasa
bahwa standar moral harus ditegakkan dengan kekuatan sistem hukum
sebaliknya, hukum dikritik dan dihapuskan ketika jelas-jelas melanggar
standar moral.
Kasus etika dalam bisnis
Etika seharusnya
diterapkan dalam bisnis dengan menunjukan bahwa etika mengatur semua
aktivitas manusia yang disengaja, dan karena bisnis merupakan
aktitivitas manusia yang disengaja, etika hendaknya juga berperan dalam
bisnis. Argumen lain berpandangan bahwa, aktivitas bisnis, seperti juga
aktivitas manusia lainnya, tidak dapat eksis kecuali orang yang terlibat
dalam bisnis dan komunitas sekitarnya taat terhadap standar minimal
etika. Bisnis merupakan aktivitas kooperatif yang eksistensinya
mensyaratkan perilaku etis.
Dalam masyarakat tanpa etika, seperti
ditulis oleh filsuf Hobbes, ketidakpercayaan dan kepentingan diri yang
tidak terbatas akan menciptakan ”perang antar manusia terhadap manusia
lain”, dan dalam situasi seperti itu hidup akan menjadi ”kotor, brutal,
dan dangkal”. Karenanya dalam masyarakat seperti itu, tidak mungkin
dapat melakukan aktivitas bisnis, dan bisnis akan hancur. Katena bisnis
tidak dapat bertahan hidup tanpa etika, maka kepentingan bisnis yang
paling utama adalah mempromosikan perilaku etika kepada anggotanya dan
juga masyarakat luas.
Etika hendaknya diterapkan dalam bisnis dengan
menunjukan bahwa etika konsisten dengan tujuan bisnis, khususnya dalam
mencari keuntungan. Contoh Merck dikenal karena budaya etisnya yang
sudah lama berlangsung, namun ia tetap merupakan perusahaan yang secara
spektakuler mendapatkan paling banyak keuntungan sepanjang masa.
Apakah
ada bukti bahwa etika dalam bisnis secara sistematis berkorelasi dengan
profitabilitas? Apakah Perusahaan yang etis lebih menguntungkan
dapripada perusahaan lainnya ?
Beberapa studi menunjukan hubungan
yang positif antara perilaku yang bertanggung jawab secara sosial dengan
profitabilitas, beberapa tidak menemukan korelasi bahwa etika bisnis
merupakan beban terhadap keuntungan. Studi lain melihat, perusahaan yang
bertanggung jawab secara sosial bertransaksi di pasar saham, memperoleh
pengembalian yang lebih tinggi daripada perusahaan lainnya. Semua studi
menunjukan bahwa secara keseluruhan etika tidak memperkecil keuntungan,
dan tampak justru berkontribusi pada keuntungan.
Dalam jangka
panjang, untuk sebagian besar, lebih baik menjadi etis dalam bisnis dari
pada tidak etis. Meskipun tidak etis dalam bisnis kadang berhasil,
namun perilaku tidak etis ini dalam jangka panjang, cenderung menjadi
kekalahan karena meruntuhkan hubungan koperatif yang berjangka lama
dengan pelanggan, karyawan dan anggota masyarakat dimana kesuksesan
disnis sangat bergantung.
Akhirnya kita harus mengetahui ada banyak
bukti bahwa sebagian besar orang akan menilai perilaku etis dengan
menghukum siapa saja yang mereka persepsi berperilaku tidak etis, dan
menghargai siapa saja yang mereka persepsi berperilaku etis. Pelanggan
akan melawan perusahaan jika mereka mempersepsi ketidakadilan yang
dilakukan perusahaan dalam bisnis lainnya, dan mengurangi minat mereka
untuk membeli produknya. Karyawan yang merasakan ketidakadilan, akan
menunjukan absentisme lebih tinggi, produktivitas lebih rendah, dan
tuntutan upah lebih tinggi. Sebaliknya, ketika karyawan percaya bahwa
organisasi adil, akan senang mengikuti manajer. Melakukan apapun yang
dikatakan manajer, dan memandang keputusan manajer sah. Ringkasnya,
etika merupakan komponen kunci manajemen yang efektif.
Dengan demikian, ada sejumlah argumen yang kuat, yang mendukung pandangan bahwa etika hendaknya diterapkan dalam bisnis.